Pertempuran pada Awal Kemerdekaan
Indonesia telah berhasil memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. pada tanggal 15 September 1945, pasukan sekutu datang dan mendarat di Jakarta yang tergabung dalam AFNEI (Allied Force East Indies) tentara Sekutu datang di bawah pimpinan Letjen Sir Philip Christison. Maksud kedatangan sektu ke Indonesia adalah sebagai berikut :
- Melindungi dan menjalankan pemindahan tawanan perang dan orang interniran
- Melucuti tentara Jepang dan mengembalikannya
- Menegakkan dan mempertahankan keadaan damai untuk diserahkan kepada pemeritah sipil
- Menghimpn keterangan tentang penjahat perang.
Kedatangan Sekutu ke Indonesia diboncengi tentara NICA (Nederlands Indies Civils Administration) yang ingin menguasai Indonesia kembali, maka sikap Indonesia mulai mencurigai bahkan kemudian bermusuhan dengan tentara Sekutu dan NICA. Terlebih-lebih setelah NICA berusaha mempersenjatai kembali orang KNIL yang baru lepas dari tawanan Jepang.
Untuk menghadapi berbagai kesulitan tersebut, Christison berunding dengan pemerintah RI pada tanggal 1 Oktober 1945 yang menyatakan adanya pengakuan de fakto pemerintah RI dan AFNEI diterima dengan terbuka oleh para pemimpin RI.
Namun kenytaan berbeda, di kota-kota yang didatangi oleh pasukan Sekutu sering terjadi insiden-insiden bahkan pertempuran dengan pihak RI. Hal ini dikarenakan NICA dan KNIL berusaha memancing kerusuhan dengan cara provokasi-provokasi.
Pertempuran Lima Hari Di Semarang
Peristiwa pertempuran lima hari di Semarang dimulai pada tanggal 14 Oktober 1945. ketika itu kurang lebih 400 orang veteran Al Jepang yang pernah bertempur di Solomon (di Lautan Pasifik Semarang) menjadi pabrik senjata, mereka menyerang polisi Indonesia yang mengawalnya. Tawanan-tawanan Jepan itu melarikan diri dan bergabung dengan Kidobutai (batalion Jepang setempat) di Jatingaleh. Mereka bergerak melakukan perlawanan dengan dalih mencari dan menyelamatkan orang-orang Jepang yang tertawan.
Situasi ketika itu bertambah panas dengan meluasnya desas desus yang menggelisahkan masyarakat, bahwa cadangan air minum di Desa Candi telah diracuni pihak Jepang. Keadaan lebih meruncing ketika Jepang melucuti delapan orang polisi Indonesia yang menjaga tempat tersebut dengan alasan untuk menghindarkan peracunan cdangan air minum. Dalam insiden tersebut dr. Karyadi Kepala Laboratorium Purusara (Pusat Rumah Sakit Rakyat) di semarang menjadi salah satu korbannya.
Pertempuran lima hari tersebut pecah dini hari pada tanggal 5 Oktober 1945. Kurang lebih 2.000 pasukan Kidobutai dibantu oleh batalion lain yang bersenjatakan lengkap dihadapi oleh TKR dan para pemuda.
Pertempuran seru dan paling banyak memakan korban terjadi di Simpang Lima (Tugu Muda)., pertempuran baru berhenti setelah pimpinan TKR berunding dengan pimpinan pasukan Jepang. Diperkirakan 2.000 rakyat Indonesia tewas dan 100 orang Jepang tewas dalam pertempuran tersebut. Untuk menghormati perjuangan dr. Karyadi kini namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit umum di Semarang. Dan untuk mengenang pertempuran Lima hari di semarang maka dibangun sebuah monumen yang terkenal dengan sebutan Tugu Muda.
Pertempuran di Yogyakarta
Perebutan senjata dan perkantoran juga dilakkan oleh kesatuan-kesatuan di Yogyakarta. Para pemuda, BKR dan Peta terus melakukan tukar pendapat untuk melakukan perebutan kekuasaan terhadap Jepang. Beberapa tokoh pemuda Peta misalnya Sudarto, Syaifudin, Marsudi, Umar Slamet, Sunjoyo dan Soeharto.
Beberapa kantor dan jawatan telah berhasil dikuasai oleh pemuda dan rakyat Yogyakarta. Beberapa pabrik dan perusahaan yang berhasil direbut, misalnya Jawatan Kehutanan, Pabrik Gula Tanjungtirtos, Medari, Rewulu, Gondangliporo, Sewugalur, dan pabrik Salakan. Pada tanggal 27 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah Jogyakarta mengumumkan bahwa seluruh kekuasaan pemerintah telah berada di tangan Republik Indonesia.
Berkaitan dengan itu, maka pimpinan dan kantor-kantor penting harus berada di tangan orang Indonesia. termasuk kepala daerah Yogyakarta yang dijabat oleh Jepang yang disebut Cokan harus meninggalkan kantornya di Jalan Malioboro. Tanggal 5 Oktober 1945, gedung Cokan Kantai berhasil direbut dan kemudian dijadikans sebagai Kantor Komite Nasional Indonesia Daerah, Gedung Cokan Kantai kemudian dikenal dengan Gedung Nasional atau Gedung Agung.
Satu hari setelah perebutan Gedung Cokan Kantai, para pejuang Yogyakarta ingin melakukan perebutan senjata dan markas Osha Butai di Kotabar. Untuk itu pada tanggal 6 Oktober 1945 diadakan perundingan antara pihak Indonesia dengan Jepang. Perundingan itu diadakan didalam markas Osha Butai di Kotabar. Tampak hadir dari Indonesia antara lain Mohammad Saleh (KNI), R.P. Sudarsono dan Bardosono atas nama BKR. Dari pihak Jepang diwakili antara lain oleh Butaico Mayor Otsuka Kenpetai Sasaki, Kapten Ito dan Kiambuco. Sementara itus, sejak sore hari banyak massa rakyat dan pemuda yang hadir di sekitar markas Kotabaru.
Dalam perundingan itu, utusan Indonesia mendesak agar Jepang secara sukarela menyerahkan senjata dan kekuasaannya. Otsuka dan kawan-kawan tetap bertahan. Otsuka kemudian menyatakan bahwa untuk menyerahkan senjata harus menunggu perintah dari Jenderal Nakamura di Magelang. Untuk itu Jepang mengusulkan agar perundingan dilanjutkan esok hari sekitar pukul 10.00 WIB.
Ternyata rakyat dan para pemuda terus mengepung markas Osha Butai di Kotabaru. Bahkan di kampung-kampung, malam itu dilakukan persiapan pengerahan massa pemuda dengan suara siap-siap secara estapet. Dalam waktu singkat telah berkumpul banyak pemuda dan terus bergerak menuju Kotabaru. Rakyat dan para pemuda terdiri dari berbagai kesatuan, antara lain TKR, Polisi Istimewa, dan BPU (Barisan Penjagaan Umum) sudah bertekad untuk menyerbu markas Jepang di Kotabaru.
Rakyat dan Pemuda dengan senjata seperti parang dan bambu runcing sudah siap, tinggal menunggu komando. Selain itu, ada kekuatan inti yang menggunakan senjata api, yaitu sebagai berikut :
- Pasukan Polisi istimewa yang dipimpin oleh Oni Satroatmojo
- Pasukan TKR dibawah komando Soeharto.
Sebagai bagian dari strategi penyerbuan para pemuda telah memutuskan sambungan telepon, kemudian sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, maka sekitar pukul 03.00 WIB tanggal 7 Oktober 1945, terdengar letusan granat sebagai tanda dimulainya penyerbuan dan aliran listrik sudah diputus. Dengan demikian, terjadilah pertempuran antara rakyat, pemuda dan kesatuan di Yogyakarta melawan tentara Jepang.
Mendengar bahwa rakyat melancarkan serangan hebat di Kotabaru, maka Butaico Pingit segera menghubungi TKR dan menyatakan menyerah, asal anak buahnya tidak disiksa. Hal ini diterima baik oleh TKR. Kemudian TKR minta agar Butaico Pingit dapat mempengaruhi Butaico Kotabaru agar menyerah. Ternyata Butaico Kotabaru menolak untuk menyerah. Skibat serangan para pejuang Indonesia semakin ditingkatkan.
Jepang mulai kewalahan kemudian mengadakan kontak kepada pihak para pejuang Indonesia untuk berdamai. Para pejuang Indonesia boleh memasuki markas. Setelah pintu itu dibuka, maka para pemuda pejuang memasuki pintu, ternyata di tempat itu telah disambut tembakan gencar senapan mesin yang sudah disiapkan Jepang dengan demikian banyak pejuang kita gugur.
Melihat pemandangan itu para pejuang kita mengamuk. Beribu-ribu massa menyerbu markas. Akhirnya pihak Jepang benar-benar terdesak dan berkibarlah bendera Merah Putih. Pasukan Jepang satu per satu mulai menyerah. Senjata demi senjata beralih ke tangan pejuang Indonesia.
Gudang senjata juga disebut oleh para pemuda, sehingga banyak mendapat senjata. Pada saat itu beberapa pemuda telah berhasil memasuki markas Kotabaru melalui selokan saluran air (riol) dan langsung berhadapan dengan Otsuka. Ternyata Otsuka mau menyerah, asalkan dihadapkan Yogya Koo (Kepala Daerah) Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Akhirnya pada tanggal 7 Oktober 1945 sekitar pukul 10.00 markas Jepeng di Kotabaru secara resmi menyerah. Kemudian berkibarlah bendera merah putih di markas KotabarU. Beratus-ratus tentara Jepang ditahan dan senjataranya dirampas. Setelah Markas Kotabaru jatuh, usaha perebutan kekuasaan meluas R.P. Sudarsono kemudian memimpin perlucutan senjata Kaigun di Maguwo. Semua senjata, 15 truk serta beratus-ratus peti granat tangan dapat dirampas dari tangan Jepang. Dengan berakhirnya pertempuran Kotabaru dan dikuasainya Maguwo, maka Yogyakarta berada di bawah kekuasaan Republik Indonesia.
Pertempuran di Surabaya
Pada akhir September 1945, BKR merencanakan menyerbu markas Kenpetai. Penyerbuan itu dipimpin oleh Abdul Wahab Saimin. Dengan persenjataan apa adanya, Abdul Wahab Saimin berusaha agar anggota BKR dan arek-arek Surabaya menyerbu markas Kenpetai yang terletak di depan kantor Gubernur Surabaya. Anggota kenpetai yang masih bersenjata lengkap tidak mau menyerahkan senjata dan kekuasaannya, maka terjadi pertempuran antara kenpetai dengan para pejuang Surabaya, akhirnya markas kenpetai berhasil dikuasai oleh pejuang kita.
Setelah arek-arek Surabaya berhasil menguasai Kenpetai, pertempuran menjalar ke berbagai tempat. Markas Angkatan Laut Jepangs di Embong Wungu juga disebu dan dapat dikuasai. Gudang peluru di Kemal dan Kedung Cowek juga dapat direbut.
Pertempuran perebutan kekuasaan terhadap Jepang berakhir setelah angkatan darat Jepang di bawah Jenderal Iwabe menyerah. Kemudians diikuti penyerahan angkatan Laut di bawah pimpinan Laksamana Shibata. Kapal-kapal perang beserta pangkalandnya juga diserahkan kepada pihak Indonesi.
Keberhasilan para pejuang Surabaya dalam melakukan perebutan senjata dan kekuasaan, telah semakin membakar semangat untuk terus berjuang menentang kekuasaan musuh. Mereka kemudian membentuk kesatuan-kesatuan perjuangan. Misalnya di Surabaya, selain kekuatan TKR, juga dibentuk Batalion Genei Pioner di bawah pimpinan Hasanudin Sadik dan didirikan Markas Pendidikan Sawunggaling, untuk mendidik para pelajar SMTA dan kesatuan pemuda yang berminat.
Para pemuda telah berhasil memiliki senjata. Mereka dengan kesatuan-kesatuannya siap untuk menghadapi ancaman musuh yang datang dari manapun juga. Waktu itu orang-orang Belanda (NICA) mulai banyak berkeliaran di Surabaya. Kedatangan orang-orang Belanda telah menimbulkan berbagai insiden dan kekacauan.
Tanggal 11 Oktober para pejuang Surabaya ini mulai menghadapi tindakan-tindakan Belanda yang semakin brutal. Pemuda-pemuda Indonesia menyerbut daerah-daerah yang menjadi pos Militer NICA. Pukul 05.00 para pemuda mulai bergerak melakukan penggerebekan ke tempat-temapt yang dicurigai termasuk Hotel Yamato. Beberapa agen NICA dapat ditawan. Tanggal 15 Oktober 1945,. Belanda berusaha mendaratkan beberapa sekoci di Kedung Cowek, tetapi dapat digagalkan oleh Pihak Republik.
Pada tanggal 25 Oktober 1945, tentara Sekutus dari Brigade 49 di bawah pimpinan Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby mendarat di Surabaya mereka terdiri dari kesatuan tentara Inggris, termasuk Gurkha, mereka mendapat tugas dari Panglima AFNEI untuk melucuti senjata tentara Jepang.
Kemudian diadakan pertemuan antara wakil-wakil pemerintah Republik Indonesia dengan Mallaby. Hasil pertemuan antara lain sebagai berikut :
- Inggris berjanji bahwa kedatangan tentaranya tidak disertai Angkatan Perang Belanda
- Disetujui kerjasama antara Sekutu dengan pihak Indonesia untuk menjamin keamanan dan ketentraman. Dalam hal ini Inggris telah mengakui RI secara de facto.
- Akan segera dibentuk Kontak Biro agar kerjasama terlaksana dengan baik.
- Inggris akan melucuti senjata tentara Jepang.
Dengan hasil perundingan itu, maka Inggris diizinkan memasuki kota untuk melaksanakan tugas-tugasnya. Mereka disambut baik, bahkan perwira Inggris diundang untuk menghadiri pesta.
Ternyata Inggris ingkar janji, pada tanggal 26 Oktober 1945 malam hari, satu pleton pasukan Field Security Section di bawah pimpinan kapten Shaw menyerbur markas Kalisosok. Tujuannya untuk membebaskan Kolonel Huiyer, seorang Kolonel angkatan Laut Belanda beserta kawan-kawannya.
Keesokan harinya Inggris menduduki Pangkalan Udara Tanjung Perak, Kantor Poss Besar, Gedung Internasional dan objek-objek vital lainnya. Tanggal 27 Oktober 1945 pukul 11.00 WIB pesawat terbang Inggris menyebarkan pamplet-pamlet yang berisi perintah agar rakyat Surabaya dan Jawa Timur menyerahkan kembali senjata-senjata yang dirampas dari tangan Jepang.
Tanggal 27 Oktober 1945 siang hari terjadilah kontak senjata pasukan Inggris dengan para pejuang di Surabaya. Serangan ini terus meluas dan pertempuran terjadi di beberapa tempat. Tanggal 28 Oktober 1945, kedudukan Inggris semakin terdesak. Tanggal 29 Oktober 1945 beberapa objek vital kembali dapat direbu oleh arek-arek Suroboyo. Oleh karena merasa kewalahan dan untuk menghindari kehancuran pasukan Inggris, maka pihak sekutu segera menghubungi Presiden Soekarno untuk memadamkan pertempuran.
Presiden Soekarno ke Surabaya bersama-sama Jenderal Hawthorn. Presiden Soekarno juga didampingi oleh Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifudin. Mereka segera berunding dengan Mallaby. Perundingan itu menghasilkan gencatan senjata.
Sebagai lanjutan dari perundingan Menteri Penerangan menegaskan kembali beberapa kesepakatan sebagai berikut :
- Dibentuk suatu Kontak Biro yang anggotanya dari pihak Indonesia dan Inggris
- Daerah pelabuhan dijaga bersama
- Daerah Darmo, daerah Kamp. Interniran orang-orang Eropa dijaga oleh tentara Sekutu.
- Tawanan dari kedua belah pihak harus dikembalikan kepada masing-masing pihak.
Dalam perundingan itu juga disepakati nama-nama yang menjadi Kontak Biro, dari pihak Inggris antara lain Mallaby, LHO Pgh dan H. Shaw. Sementara dari pihak Indonesia antara lain Residen Sudirman, Dul Arnowo, Atmaji Sungkono, Kusnandar dan Suyono.
Setelah perundingan selesai, Presiden Soekarno dan Hawthorn meninggalkan Surabaya, ternyata beberapa tempat masih terjadi pertempuran. Anggota Kontak Biro segera mendatangi tempat-tempat yang masih terjadi pertempuran untuk menghentikannya. Tempat terakhir yang dikunjungi adalah gedung Bank Internatio di dekat Jembatan Merah. Gedung ini masih diduduki oleh tentara Inggris. Para pemuda Surabaya mengepung Gedung itu.begitu Mallaby datang ke tempat itu, para pemuda Surabaya menuntut agar pasukan Mallaby (Inggris) menyerah.
Mallaby tidak memenuhi tuntutan itu.tiba-tiba terdengar tembakan gencar dari dalam gedung yang dilancarkan pasukan Inggris. Para pemuda Surabaya pun membalasnya. Situasi di sekitar gedung menjadi kacau. Mallaby yang datang di lingkungan gedung Bank Internatio menjadi sasaran penembakan dan akhirnya tewas terbunuh.
Menurut saksi mata, Moch Wachid yang juga ikut bertempur saat menjelang maghrib melihat sebuah mobil sedan dari arah utara mendekati Jembatan Merah. Tiba-tiba mobil itu meledak, tampaknya terkena tembakan. Ternyata mobil itu ditumpangi oleh Jenderal Mallaby.
Dengan terbunuhnya Mallaby, pihak Inggris meminta pertanggungjawaban. Bahkan Jenderal Christison selaku Panglima AFNEI menuntut rakyat Surabaya menyerah. Kalau tidak Surabaya akan dibumihanguskan. Kemudian Inggris mendatangkan pasukan baru di bawah Pimpinan Jenderal GC. Mansergh.
Tanggal 7 Nopember 1944, Mansergh menulis surat yang menuduh bahwa Gubernur Suryo tidak menguasai kedaan dan seluruh kota sudah dikuasai oleh para perampok. Gubernur Suryo pada tanggal 9 Nopember 1945 mengirim surat balasan yang isinya menolak tuduhan tersbeut. Akhirnya pemimpin yang bersenjata harus melapor dan menyerahkan senjatanya kepada pihak Inggris.
Kemudian semua harus menandatangani dokmen sebagai bukti menyerah tanpa syarat kepada tentara Inggris. Batas waktu yang ditentukan adalah pukul 06.00 WIB tanggal 10 Nopember 1945. Kalau tidak diindahkan sampai batas waktu yang ditentukan, maka Inggris akan mengerahkan semua kekuatan darat, laut dan udara untuk menghancurleburkan Surabaya.
Rakyat Surabaya merasakan ultimatum itu sebagai penghinaan, maka tidak dihiraukan. Akhirnya pertempuran berkobar di Surabaya. Inggris mengerahkan semua kekuatan. Sekitar 10 – 15 ribu pasukan digerakkan dengan senjata lengkap. Mereka didukung kekuatan kapal laut dan pesawat-pesawat Angkatan Udara Inggris. Pihak rakyat Surabaya, mengerahkan semua unsur kekuatan dan Mayjen Jonosewoyo mengatur beberapa strategi.
Beberapa batalion telah dikerahkan, seperti Batalion Bambang Yuwono, Batalion Sawunggaling, Batalion Mohs. Isa Idris, Batalion Geni Pioner dan laskar-laskar rakyat yang lain. Pada tanggal 10 Nopember 1945 benar-benar terjadi pertempuran sengit di Surabaya.
Di Surabaya, Pemuda Sutomo (Bung Tomo) telah mendirikan Radio Pemberontakan. Untuk mengobarkan semangat juang arek-arek Surabaya. Pada saat terjadi pertempuran di Surabaya, Bung Tomo berhasil memimpin dan mengendalikan kekuatan rakyat melalui pidato-pidatonya. Didalam pidato radionya yang begitu berapi-rapi selalu dimulai dan diakhiri dengan bacaan takbir Allahu Akbar. Pidato-pidato itu ternyata semakin membakar semangat arek-arek Surabaya untuk terus maju pantang mundur. Tokoh lain misalnya Ketut Tantri, yaitu wanita Amerika yang aktif mengumandangkan pidato-pidato revolusinya dalam bahasa Inggris melalui radio Pemberontakan Bung Tomo