Dari berita Cina pada zaman Dinasti Tang disebutkan bahwa untuk pertama kalinya negeri Mo-lo-yeo (Melayu) mengirimkan utusan ke Cina pada tahun 644 dan 645 M. Disebutkan pula bahwa di Sumatra pada saat itu telah ada beberapa kerajaan seperti To-long-po hwang (Tulang Bawang), Mo-le-yeo (Melayu) di Jambi dan Che-li-fo-che (Sriwijaya). Berita lain yang juga berasal dari Cina berasal dari I-Tsing yang pernah datang ke Sriwijaya dalam perjalanan dari Kanton menuju India. Ia tinggal selama 6 bulan di Sriwijaya, kemudian singgah di Melayu dan selama dua bulan di tinggal di sana.
Mengenai Kerajaan Sriwijaya, I-Tsing mengatakan bahwa Sriwijaya merupakan sebuah kota berbenteng karena dikelilingi tembok. Ia mengatakan bahwa kota itu dihuni oleh kurang lebih seribu orang bhiksu, yang mendalami ajaran agama Budha seperti halnya di India. Para Bhiksu yang belajar itu dibawah bimbingan gurunya yang terkenal bernama Sakyakirti. Terpengaruh oleh kemajuan Sriwijaya sebagai pusat agama Budha, I-Tsing menganjurkan agar pendeta-pendeta Cina yang akan belajar di India terlebih dahulu singgah di Sriwijaya untuk mempelajari dasar-dasar agama Budha dan tata bahasa Sansekerta, selama setahun atau dua tahun.
Sekitar tahun 693, Sriwijaya berhasil menguasai Kerajaan Melayu dan daerah-daerah lain sekitarnya. Hal ini dapat diketahui dari adanya lima buah prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Sriwijaya bernama Dapunta Hyang Sri Jayanaga. Kelima prasasti itu ditulis dengan huruf Pallawa sedangkan bahasanya adalah bahasa Melayu kuno. Prasasti-prasasti itu adalah sebagai berikut :
Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti ini ditemukan di tepi sungai Tatang dekat Palembang, kerangka tahun 683 M atau 605 Saka. Isinya, Dapunta Hyang mengadakan perjalanan suci atau Sidhatra dengan perahu. Ia berangkat dari Minangatamwan dengan disertai tentara sebanyak dua laksa (20.000) orang. Dalam perjalanan ini ia berhasil menaklukkan beberapa daerah. Perjalanan ini berlangsung selama delapan hari.
Suatu hal yang menarik dari prasasti ini adalah jumlah tentara sebanyak dua laksa (20.000) orang yang menyertai raja dalam perjalanan suci itu. Hal ini menimbulkan keraguan terhadap isi prasasti, sebab timbul pertanyaan, berapa banyak jumlah perahu yang dibutuhkan untuk mengangkut tentara sebanyak itu? Bila hal itu memang benar terjadi dapat dibayangkan suatu iring-iringan perahu yang sangat panjang, bukan hanya untuk mengangkut tentara, tetapi juga untuk mengangkut tenaga-tenaga bantu yang jumlahnya juga pasti tidak sedikit, serta mengangkut bahan perbekalan yang dibutuhkan dalam perjalanan yang memakan waktu selama delapan hari itu. Kemudian timbul pula pertanyaan, berapa banyak rakyat Sriwijaya pada saat itu, sehingga begitu banyak tenaga pemudanya yang direkrut untuk menjadi tentara.
Jika demikian halnya, maka isi prasasti Kedudukan Bukit itu harus ditafsirkan sebagai berikut : Jumlah dua laksa yang disebut-sebut bukanlah jumlah yang sebenarnya, melainkan hanya untuk menunjukkan bahwa jumlah tentara Dapunda Hyang itu sedemikian banyaknya sehingga sulit untuk menghitungnya. Dugaan itu diperkuat oleh baris keenam dari isi prasasti itu yang menyebutkan bahwa dua ratus orang menggunakan perahu dan seribu tiga ratus sepuluh dua, berjalan d darat. Jadi bila dijumlahkan tidak lebih dari seribu lima ratus dua belas orang saja.
**
Prasasti Talang Tuo**
Prasasti ini ditemukan di sebelah barat kota Palembang, di daerah Talang Tuo. Prasasti ini terdiri dari 14 baris kalimat dan berangka tahun 606 Saka atau 684 M. Isinya mengenai pembuatan sebuah taman yang diberi Taman Sriksetra. Taman itu dibuat dengan maksud untuk kemakmuran semua makhluk. Selain itu ada juga do’a-do’a yang mempunyai unsur agama Budha Mahayana.
Prasasti Kota kapur dan Karang Berahi
Prasasti Kota Kapur ditemukan di Pulau Bangka, sedangkan prasasti Karang Berahi ditemukan di daerah Jambi. Kedua prasasti itu isinya sama, kecuali kalimat terakhir dari prasasti Kota Kapur tidak terdapat dalam prasasti Karang Berahi. Angka tahun kedua prasasti itu sama yaitu 608 Saka (686 M). Isinya mengenai permintaan kepada para dewa agar menjaga Kedatuan Sriwijaya. Agar dewa-dewa menghukum setiap orang yang durhaka terhadap kekuasaan Sriwijaya. Dalam prasasti Kota Kapur disebutkan bahwa Bumi Jawa tidak tunduk kepada kedatuan Sriwijaya.
Prasasti Telaga Batu
Prasasti ini ditemukan di daerah Telaga Batu, dekat Kota Palembang, tidak berangka tahun. Isinya berupa kutukan-kutukan bagi mereka yang melakukan kejahatan dan tidak taat terhadap perintah raja.
Dari kelima buah prasasti yang semuanya ditulis dengan huruf pallawa dan bahasa Melayu Kuno, dapat ditarik kesimpulan bahwa Dapunda Hyang berkedudukan di Minangatamwan. Ia lalu meluaskan daerah kekuasaannya ke sekitar Jambi dan berhasil menaklukkan Melayu. Setelah itu barulah ia mendirikan Kerajaan Sriwijaya dan menaklukkan daerah-daerah di sekitar Palembang. Penaklukan terus dilanjutkan terhadap Jambi Hulu dan Bangka. Mengenai Bumi jawa yang tidak mau tunduk kepada Sriwijaya kemungkinan Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat.
Di daerah Palas Pasemah (Lampung Selatan) ditemukan pula sebuah prasasti yang memberi keterangan tambahan mengenai Kerajaan Sriwijaya. Isi prasasti itu menyebutkan bahwa dalam abad ke-7 M, daerah Lampung Selatan telah jatuh ke tangan Sriwijaya.
Berita lain menyebutkan bahwa kerajaan Sriwijaya mengirim utusan ke Cina pada tahun 472 M, selain itu prasasti Ligor menyebutkan pada tahun 775 M, kerajaan Sriwijaya mendirikan pangkalan di Ligor. Raja pada saat itu bernama Dharmasettu, mendirikan sejumlah bangunan suci agama Budha. Prasasti Ligor dibangun oleh Raja Wishnu dari keluarga Saelendra yang diduga sama dengan raja Sanggramadananjaya yang namanya dijumpai dalam prasasti Klurak di Jawa Tengah.
Letak Kerajaan Sriwijaya
Kesimpulan kita mengenai uraian di atas adalah kerajaan Sriwijaya pada mulanya tidak berada di Palembang, melainkan berpusat di Minangatamwan yaitu di daerah pertemuan antara Sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri. Hal ini didasarkan pada perjalanan suci atau sidhayatra yang dilakukan Dapunta Hyang dengan tentaranya bertolak dari Minangatamwan. Selain itu, bila Kerajaan Sriwijaya berpusat di Palembang, prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja tidak mungkin berisi kutukan-kutukan yang menyeramkan, serta adanya perintah agar rakyat taat terhadap kedatuan Sriwijaya. Sikap demikian hanya masuk akal, jika ditujukan kepada rakyat di daerah-daerah yang jauh dari pusat pemerintahan yang mungkin berusaha melarikan diri. Selain dari itu pembuatan Taman Sriksetra sebagai hadiah dapat diartikan sebagai usaha memikat hati rakyat yang baru saja ditaklukkan.
Keterangan lain dari I-Tsing yang mengatakan bahwa Kerajaan Sriwijaya terletak di daerah Khatulistiwa, karena bila seseorang berdiri di Sriwijaya pada waktu tengah hari maka tidak akan terlihat bayangannya. Sedangkan garis Khatulistiwa tidak melalui kota Palembang, tetapi tepat melalui daerah pertemuan dua aliran sungai, yaitu sungai Kampar Kanan dan Sungai Kampar Kiri.
Kehidupan Politik
Dalam usaha mengembangkan dan memperbesar Kerajaan Sriwijaya, penguasa mengadakan usaha ekspansi terhadap daerah-daerah lain disekitarnya. Politik ekspansinya berhasil dengan baik, sehingga disegani oleh lawan-lawannya. Selain itu, dijalankan hubungan dengan Cina, bukan hanya untuk kepentingan perdagangan, tetapi juga yang lebih penting dari itu secara politis dimaksudkan untuk ketentraman Sriwijaya sendiri karena dengan adanya hubungan itu Kerajaan Cina tidak akan mengadakan penyerangan terhadap Sriwijaya.
Selain dengan Cina, Sriwijaya juga mengadakan hubungan kerjasama dengan kerajaan-kerajaan lain di Asia Tenggara, baik untuk kepentingan politk maupun untuk perdagangan. Dalam perkembangan selanjutnya, Sriwijaya terkenal sebagai negara maritim dan bandar perdagangan terbesar di Asia Tenggara. Dengan memiliki angkatan laut yang besar dimaksudkan untuk menjaga dan memelihara keamanan pelayaran di sekitar selat Malaka yang sering terganggu oleh perompak-perompak laut. Khusus mengenai hubungannya dengan India, bukan hanya alasan politik dan ekonomi, tetapi juga dilatarbelakangi oleh kepentingan Sriwijaya untuk menjadikan kerajaan ini sebagai pusat agama Budha terbesar di Asia Tenggara.
Untuk maksud tersebut diatas banyak bhiksu dari Sriwijaya yang dikirim ke Perguruan Tinggi Nalanda di India selatan guna mendalami ajaran agama Budha. Dalam prasasti Nalanda yang berasal dari abad ke-9 M, disebutkan ada hadiah sebidang tanah dari raja Dewa Paladewa untuk keperluan pembangunan sebuah vihara, oleh Raja Balaputradewa yakni seorang Raja Swarnadwipa. Pembangunan vihara itu dimaksudkan untuk kepentingan para peziarah dari Sriwijaya yang datang ke Nalanda untuk mendalami ajaran agama Budha. Dalam prasasti itu disebutkan bahwa Balaputradewa adalah cucu dari Raja Jawa yang menjadi mustika keluarga Saelendra yang bergelar Sriwirawairaimathana, sedangkan ayahnya adalah Samaragrawira. Menurut para ahli, gelar Wirawairimathana itu sama dengan gelar Raja Dharanindra yang disebut dalam parasasti Klurak di Jawa Tengah, sedangkan nama Samaragrawira sama dengan Sammoratungga yang memerintah di Jawa Tengah pada tahun 928 – 850 M.
Akhir pemerintahan Balaputradewa tidak diketahui dengan pasti, begitu pula keadaan Kerajaan Sriwjaya. Dari berita Cina diperoleh kerangan bahwa pada tahun 971, 972, 974 dan 975 Sriwijaya mengirim utusan ke Cina, tetapi raja yang mengirim utusan itu tidak disebutkan namanya.
Kemudian pada tahun 980 dan 983 Raja Sriwijaya yang disebut Hsi-Shi, mengirim utusan lagi ke Cina. Pada tahun 992, ada utusan dari Jawa yang akan kembali ke negerinya tetapi terpaksa tinggal sementara waktu di Kanton karena mendengar bahwa Sriwijaya sedang berperang dengan Raja Jawa. Kerangan dari Cina ini dapat dibenarkan karena sesuai dengan kenyataan pada tahun 990 Raja Dharmawangsa dari Jawa Timur mengirim armadanya menyerang Sriwijaya. Raja Sriwijaya pada saat itu adalah Sri Sudamaniwarmadewa. Pada masa pemerintahannya, kerajaan Sriwijaya makin terkenal sebagai pusat pengembangan agama Budha. Pada tahun 1011 dan 1023, datang dari Tibet seorang pendeta Budha yang bernama Atisa untuk mendapat bimbingan langsung dari pendeta tertinggi Sriwijaya, Dharmakirti
Sri Sudamaniwarmadewa tidak lama memerintah. Ia diganti oleh putranya yang bernama Marowijayattunggawarman yang mengaku keturunan dinasti Saelendra. Ia tidak mengakui kekuasaan Dharmawangsa di Jawa Timur. Untuk memperkuat dirinya ia mengadakan hubungan persahabatan dengan Raja Colamandala yang bernama Rajaraja I. Dalam masa pemerintahannya Marowijayottungga-warman berhasil memulihkan kewibawaan kerajaan Sriwijaya dengan menduduki kembali daerah Semanjung Malaka, sehingga ia disebut Raja Kataha dan Kedah (di Malaya) dan Sriwijaya.
Tidak jelas sebab persahabatan Sriwijaya dengan Colamandala berubah menjadi permusuhan pada tahun 1023. pada saat itu Sriwijaya diperintah Sanggramawijayattunggawarman. Sedangkan Kerajaan Colamandala diperintah oleh Rayendracoladewa (putra dari Rajaraja I). Pada tahun 1023, ia mengadakan serangan besar-besaran terhadap kerajaan Sriwijaya. Serangan pertama ini rupanya tidak berhasil, sehingga pada tahun 1030 ia meluncurkan serangan kedua dan pada kesempatan itu Raja Sriwijaya berhasil ditawan. Bagaimana nasibnya tidak diketahui.
Pada tahun 1068 sekali lagi Kerajaan Colamandala mengadakan serangan yang lebih ditujukan terhadap daerah Semananjung Malaka, Raja Colamadala saat itu Wirarayendra ia berhasil menaklukkan Raja Kadaram dan menawannya, tetapi kemudian dilepas lagi setelah ia bersedia mencium kaki Raja India itu.
Dengan adanya serangan-serangan dari Kerajaan Colamandala itu, Kerajaan Sriwijaya makin lemah. Kemudian Sriwijaya bangkit kembali menjadi kerajaan besar. Hal ini terbukti dengan ditemukannya sisa-sisa bangunan suci yang sama dengan candi Borobudur. Sisa-sisa bangunan suci itu berupa stupa dan makara-makara yang salah satunya berangka tahun 1064. juga di Tapanuli Selatan ditemukan sebuah bangunan suci Agama Budha yang oleh masyarakat setempat disebut dengan nama Biaro Bahal. Selain itu ditemukan pula arca-arca perunggu yang langam seni arcanya sama dengan langgam seni arca Jawa Tengah. Kemudian ada juga arca Awalokiteswara yang diapit oleh dua orang Tara. Pada bagian lapik (alas) arca ini terdapat tulisan, “arca ini dibuat oleh Pu Surya pada tahun 1024”
Kerajaan Sriwijaya sebagai pusat agama Budha terbesar di Asia tenggara akhirnya mengalami kehancuran setelah adanya serangan dan penaklukan yang dilakukan Kerajaan Majapahit pada tahun 1477 M
**
Kehidupan Sosial, Ekonomi dan Kebudayaan**
Kehidupan sosial masyarakat di Kerajaan Sriwijaya sudah terbina dengan sangat baik. Hal ini terbukti dengan usaha-usaha raja bersama-sama rakyatnya dalam politik ekspansinya, sehingga wilayah kekuasaan Sriwijaya makin luas.
Untuk kepentingan rakyatnya, pemerintah kerajaan mengadakan hubungan persahabatan dan kerja sama dengan Cina, India dan kerajaan-kerajaan lain di Asia Tenggara. Pemerintah membangun taman-taman rekreasi dan tempat-tempat suci untuk kepentingan rakyatnya. Dengan adanya usaha-usaha itu dapat ditarik kesimpulan, baik kehidupan sosial kemasyarakatan maupun perekonomian rakyat Sriwijaya sudah tinggi. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti, bekas-bekas bangunan suci dan lain-lain.
Adanya hubungan dengan Cina dan India, dan negara-negara lainnya, memungkinkan masyarakat Sriwijaya menyerap budaya bangsa-bangsa itu, sehingga semakin kaya dan beragamnya kebudayaan Sriwijaya. Salah satu peninggalan Kerajaan Sriwijaya adalah Biaro Bahal yang merupakan bangunan suci agama Budha yang terletak di Tapanuli Selatan (Sumatra Utara).